Kebahagiaan itu seperti pelangi, tak pernah berada di atas kepala sendiri. Dan Pelangi itu tidak akan indah jika hanya satu warna, kalau langit tidak menangis mana mungkin taman akan tersenyum..

Rabu, 09 September 2015

Kenapa Harus Marah

Dikisahkah bahwa pada suatu hari Khalifah Umar al-Faruq ra mendapati seorang rakyatnya sedang teler, mabuk, akibat minuman keras. Karena meminum- minuman keras dilarang di wilayah yang menjadi kekuasaannya, maka Khalifah segera menangkap yang bersangkutan untuk dijatuhi hukuman. Si teler ternyata tidak menyukai tindakan itu. Dia pun lalu mencaci maki Khalifah dengan mengucapkan kata-kata kotor yang tak pantas diucapkan kepada seorang pemimpin. Setelah dicaki maki, Umar bukannya memarahi yang bersangkutan, tapi dia malahan melepaskan tangan si pemabuk itu dan bergegas meninggalkannya.

Seseorang yang kebetulan melihat kejadian itu lalu bertanya kepada Khalifah,

“Ya Amirul Mukminin, kenapa engkau melepas si pemabuk itu setelah dicaci maki oleh dia?”


Umar menjawab, “ Aku melepas dan segera meninggalkan dia karena dia telah membuatku marah. Andai aku tetap menghukumnya berarti amarahku telah menguasai jiwaku. Aku tak ingin jika aku memukul seorang muslim, terdapat unsur nafsuku di dalamnya!”

Dalam riwayat yang lain diceritakan bahwa seorang sahabat Baginda Rasulullah saw urung membunuh lawannya dalam sebuah peperangan melawan orang-orang kafir setelah kafirun itu terdesak lalu meludahi wajah sahabat Baginda itu. Air ludah itu tentu saja dapat memicu kemarahan, tetapi musuhnya itu dia tinggalkan begitu saja.

“Aku khawatir, jika kemarahankulah yang melandasi peperanganku dengan dia.” begitu ujarnya santun.

Dua riwayat yang berbeda tentang meredam marah ini mengingatkan kita betapa orang-orang yang layak dihormati justru berusaha untuk menahan marahnya ketika mereka dipermalui. Mereka tidak membalas kemarahan, penghinaan, dengan kemarahan lagi, padahal ada peluang lebih besar untuk membalas.

Pada dasarnya sifat marah itu dimiliki setiap orang, siapapun dia, dan apapun agama atau kepercayaannya, dan di mana pun dia bertempat tinggal.

Kita selalu diingatkan bahwa marah itu dari setan. Kemarahan menjadi api setan yang membakar dalam hati orang yang marah. Api itu akan membakar kemuliaan dan kehormatan diri. Api kemarahan yang kian membesar akan membakar tutup rahasia yang ada pada diri sehingga aib pun menjadi tampak dengan jelas. Bukankah karena marah, seseorang dengan mudahnya mencaci maki, melakukan tindak kekerasan, bahkan dapat sampai membunuh, yang jelas-jelas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam?

Dalam hidup bermasyarakat, memang sering tak terelakkan kejadian di mana seseorang melakukan kejahatan, disengaja maupun tidak.

Al-Qur’an (QS 41:34) mengingatkan manusia untuk memperlakukan perbuatan buruk orang dengan cara yang lebih baik (bijaksana). Manusia disuruh membalas perlakuan buruk dengan cara bijaksana, lebih baik, bukan dengan perlakuan yang sama, apalagi yang lebih buruk.

Dalam menghadapi perlakuan orang tak seimanpun, diingatkanNya agar tidak mencaci maki sembahan mereka, agar mereka tidak mencaci maki Allah.

Kemarahan sering tak membawa penyelesaian yang baik terhadap suatu masalah.

Rasulullah saw mengingatkan umatnya untuk tidak marah. “ Jangan marah; jangan marah; jangan marah”, sabda Baginda. Baginda mengajak kita berpikir sebelum berbuat dan mengingatkan kita untuk selalu berlaku bijaksana.

Kekuatan seseorang itu tidak diperagakan lewat kemampuannya berkelahi, lewat tindak kekerasan, tetapi terletak pada kemampuannya untuk mengendalikan diri saat marah.

Biasakanlah untuk selalu menghisab diri, antara lain berupaya untuk meredam, mendeteksi sumber-sumber kemarahan dan kemudian berusaha mengendalikannya. Meredam kemarahan dapat dilakukan diantaranya dengan melihat sisi-ssi lain dari setiap kejadian menimpa diri yang memicu kemarahan.

Boleh marah kapan saja, tetapi marahlah karena Allah swt, bukan karena kebencian, bukan karena nafsu yang mengarah ke kejahatan.

Tidak ada komentar: