Aroma lembut tanah bercampur air perlahan mulai menguar, menyeruak dalam
pori-pori indera penciumanku, damai. Menenangkan. Sejenak aku termenung
menatap hujan, ingin rasanya kuberlari menyambutmu, hanya untuk diam
dibawah aliran hujan yang turun membasahi tiap jengkal tubuhku, membagi
rasaku hari ini padamu.Saatku tengah bahagia, perasaanku membumbung tinggi, menembus awan mungkin hingga dia membiarkanmu turun. Gerimis, rintikmu indah, mentari yang membinarkan sinarnyapun seakan turut bergembira bersama kita.
Untuk itu harusnya hujan ada (bersama dengan teriknya matahari sebagai pasangannya). Untuk itu aku ada, membaginya dengan kamu. Merenungi ketaksamaan sebagai hal biasa, dan menjadi luar biasa saat kita memadukan perbedaan itu dalam satu genggaman tangan. Untuk itulah harusnya hujan ada. Ia menjadi memori penyembuh sakti atas luka di hati kita. Berharap kenangan dengan hujan lantas bisa menyuburkan kembali kuncup rasa sayang itu dan mengibaskan kebencian. Yah, harusnya kita memaknai hujan seperti itu. Berharap ia menyemaikan napas baru, napas yang membawa kita kembali dekat.
Tak pernah kurasakan kecewa. Rasa sakit, pedih bagai belati mengiris relung hati. Tangis yang terbendung tak jua turun, aku tegar untukmu. Mendung mulai menggantung dilangit dan kaupun turun. Saat itu pula tangisku pecah sudah. Pilu, pedih, tanpa suara. Aku tak kuasa membendung rasa lagi, dan kau mendampingiku, lembut hujan membelai rambutku, menghapus tetes air mata, tak luput jua rasa pedih ini larut bersamamu.
Entahlah, hujan ini menggambarkan apa
atau ia hanyalah hujan saja. Hanya sekedar. Dan entahlah, akan berapa
banyak kata entah lain untuk menggambarkan hujan. Namun dari seluruh
yang entah itu, ada satu yang masih sering kuingat kau lafal dari
mulutmu yang dulu slalu tersenyum itu, yaitu ini,
“Hujan adalah tetesan-tetesan air mata bahagia langit yang tuntas memendam rindunya pada tanah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar