Falsafah Madya
Madya artinya 'madu ilahi”. Sepanjang waktu kelenjar pineal mengeluarkan cairan yang disebut amrta. Seorang yogi yang telah membersihkan pikirannya dan berlatih puasa dapat mencicipi cairan ini dan mengalami kedalaman akibat cairan ini pada seluruh dirinya, yang sering disebut sebagai penuh kebahagiaan. Jadi, ada dua pengetian madya, yang kasar dan materiil, dan pengertian yang lebih halus dan rohani.
Falsafah madya di tanah jawa
Falsafah hidup madya memang masih jarang dibicarakan. Falsafah ini belum banyak disorot, kendati telah lekat dan mewarnai kehidupan spiritual orang Jawa. Falsafah hidup madya sebenarnya berembriokan dari wawasan batin orang Jawa yang dimanifestasikan melalui solah bawa, muna-muni lan pratingkah.
Maksudnya, melalui sikap dan perilaku yang penuh dengan semu dan sasmita. Oleh karena itu, pemahamannya pun perlu diantisipasi dengan dunia batin dan ilmu rasa. Konon, bisa diduga bahwa falsafah madya itu lahir dari etika moral orang Jawa yang tidak ingin di-wah / disanjung-sanjung. Mereka lebih suka hidup samadya, artinya hidup dalam ukuran cukup. Kondisi cukup adalah tidak kaya-tidak miskin, tak berlebihan tapi juga tak kurang sekali. Cukup, bukanlah pas-pasan.
Orang jawa lebih suka menggunakan unen unen yang di dalamnya memuat beraneka ragam ajaran agar kehidupan orang jawa lebih selaras dan seimbang.
falsafah atau unen unen itu di antaranya adalah:
Madya artinya 'madu ilahi”. Sepanjang waktu kelenjar pineal mengeluarkan cairan yang disebut amrta. Seorang yogi yang telah membersihkan pikirannya dan berlatih puasa dapat mencicipi cairan ini dan mengalami kedalaman akibat cairan ini pada seluruh dirinya, yang sering disebut sebagai penuh kebahagiaan. Jadi, ada dua pengetian madya, yang kasar dan materiil, dan pengertian yang lebih halus dan rohani.
Falsafah madya di tanah jawa
Falsafah hidup madya memang masih jarang dibicarakan. Falsafah ini belum banyak disorot, kendati telah lekat dan mewarnai kehidupan spiritual orang Jawa. Falsafah hidup madya sebenarnya berembriokan dari wawasan batin orang Jawa yang dimanifestasikan melalui solah bawa, muna-muni lan pratingkah.
Maksudnya, melalui sikap dan perilaku yang penuh dengan semu dan sasmita. Oleh karena itu, pemahamannya pun perlu diantisipasi dengan dunia batin dan ilmu rasa. Konon, bisa diduga bahwa falsafah madya itu lahir dari etika moral orang Jawa yang tidak ingin di-wah / disanjung-sanjung. Mereka lebih suka hidup samadya, artinya hidup dalam ukuran cukup. Kondisi cukup adalah tidak kaya-tidak miskin, tak berlebihan tapi juga tak kurang sekali. Cukup, bukanlah pas-pasan.
Orang jawa lebih suka menggunakan unen unen yang di dalamnya memuat beraneka ragam ajaran agar kehidupan orang jawa lebih selaras dan seimbang.
falsafah atau unen unen itu di antaranya adalah:
- Ngono yo ngono ning ojo ngono; Maksudnya mengarahkan hidup ,agar bisa menyesuaikan diri,dan bisa "angon mongso",hendaknya dalam pergaulan bisa menempatkan ruang dan waktu.Jangan asal nyeplos (asbun) dan bertindak.Falsafah madya semacam ini akan mengarahkan hidup orang Jawa agar bertindak anoraga (merendahkan diri), aja adigang-adigung-adiguna, dan aja dumeh (mengunggulkan diri, merendahkan orang lain, menghina orang yang tidak punya). Aja mung golek wah (jangan gila pujian), sing prasaja (hiduplah sederhana), gong lumaku tinabuh (jika menjadi orang pandai, janganlah mengobral kepandaian). Aja golek menange dhewe (jangan mencari kemenangan sendiri), sementara orang lain harus dikalahkan dengan berbagai cara.
- Melok nanging ojo nyolok; Maksudnya, boleh saja perilaku selalu tampil beda, tapi jangan terlalu mencolok. Melok (tampak) adalah wajar, sedangkan nyolok (terlalu tampak), sudah berlebihan. Hal ini mengandung nilai positif, bahwa orang hidup dalam kewajaran atau kesederhanaan. Hidup tidak bersikap menonjolkan kelebihan kita, kelebihan dalam bidang kekayaan, bidang kepandaian, bidang wewenang dan kekuasaan.
- Bener ning durung mesthi pener (sesuatu yang di anggap benar belum tentu pas dan cocok untuk kebanyakan orang) ;Maksudnya bahwa dalam tindakan senantiasa diarahkan pada hal yang cocok, pas, cukup dan sesuai. Lebih ke arah pener / trep.
- Sing biso prihatin sak jroning bungah,sing biso bungah sak jroning prihatin;Maksudnya bersikap tidak berlebihan, bisa mengekang hawa nafsu jika sedang hidup enak. Sebaliknya, jika sedang hidup kekurangan, jangan terlalu sedih. Falsafah hidup demikian melegitimasi bahwa orang Jawa bisa menjalankan ‘laku’ dalam hidup. Hidup tidak harus hura-hura, foya-foya, namun jika sedang kekurangan juga tidak menuduh keadilan Allah.
- yen kroso enak uwiso yen kroso ora enak terusno;Maksudnya adalah mengandung pelajaran agar dalam hidup bermasyarakat, orang senantiasa menahan diri, mengendalikan hawa nafsu. Ambisi boleh, tetapi jangan ambisius. Jabatan adalah sebuah amanat, jangan diminta. Kedudukan jangan disalahgunakan. Sebaliknya, jika tidak memiliki jabatan, tidak perlu kecil hati. Falsafah ini mengarahkan orang Jawa agar tidak bertindak aji mumpung, jangan memanfaatkan kesempatan. Seperti halnya orang yang sedang makan gula, lalu lupa denganmanisnya.
- Ojo bungah ing pangalem ojo susah ing panacat.Ojo mongkong ing pambombong,ojo kendo ing panyendhu;Maksudnya jangan merasa bangga (sekali) jika dipuji, dan jangan susah (sekali) jika mendapat celaan. Ungkapan ini menghendaki agar orang Jawa bisa mawas diri, juga murba diri, bisa mempertimbangkan (bijaksana) dalam menghadapi pujian dan celaan orang lain. Wong seneng ora kurang pengalem, wong ora kurang panacad, menghendaki agar sikap dan perilaku perlu keseimbangan emosional.
- Memayu hayuning bawono;Maksudnya watak dan perbuatan yang senantiasa mewujudkan dunia selamat,sejahtera dan bahagia. Seharusnya manusia berbuat untuk kepentingan sesamanya dan orang banyak bukan didorong oleh keinginan individual.Oleh karena itu,hendaknya manusia berperilaku ke arah ketenteraman hidup dan bukan konflik terus menerus.Sikap dan perilaku manusia Jawapun perlu dilandasi kehendak untuk menghiasi dunia dan bukan merusak tatanan dunia.Ini artinya memayu hayuning bawana berarti juga bagaimana manusia menjaga perdamaian dunia.
Terdapat beberapa hal filosofi kehidupan
Sunan Kalijaga yang perlu menjadi renungan kita bersama. Jika
pesan-pesan falsafah hidup Sunan Kalijaga ini kita pegang dan praktekkan
dalam kehidupan sehari-hari, Insya Allah, kita akan dapat selamat di
dunia dan akhirat.
Isi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga adalah: ”Lamun
sira menek, aja menek andha, awit lamun sira menek andha –sira
ancik-ancik untu lan tekan ndhuwur, sira ketemu alam suwung. Nanging
lamun sira menek, meneka wit galinggang, sira bakal ngliwati tataran,
lan ngrangkul (ngrungkepi) wit galinggang. Tekan ndhuwur sira – ketemu
apa? Sira bakal ketemu woh, ya wohing galinggang.
Wohing galinggang wiwit saka ing
jeroning mancung, ya kuwi manggar, sakwise kuwi dadi bluluk, terus
cengkir, deghan, njur kerambil/kelapa. Perangan njaba, sira ketemu apa?
Sira ketemu tepes, sing watake enteng. Perangan njero maneh, sira ketemu
apa? Sira bakal ketemu batok (tempurung) sing watake atos (teguh dalam
prinsip). Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu
jatine wohing galinggang. Perangan njero maneh, sira ketemu apa? Sira
bakal ketemu banyu ya banyu perwito sari. Ing sak jerone banyu, sira
ketemu apa? Sira bakal ketemu rasa, ya jatining rasa (rasa rumangsa).
Lamun sira menek maneh, sira ketemu apa? Sira bakal ketemu janur sing
tegese jatining nur, ya nur muhammad
Makna untuk Kehidupan
Adapun yang dimaksud dengan Wit Galingga adalah
Pohon Kelapa. Kenapa pohon kelapa yang dijadikan contoh? Karena Pohon
Kelapa itu mulai dari akarnya yang paling bawah sampai ujung daunnya
yang disebut janur semuanya bermanfaat. Pohon Kelapa juga sangat kokoh
dan kuat tidak pernah roboh.
Kalau kita memanjat Pohon Kelapa maka
kita akan medapatkan buahnya. Kita akan bertanggung jawab, tidak
sombong, tidak mudah jatuh, kita ikuti tataran yang ada dalam batang
kelapa itu, kita akan selalu terus ke atas, kita akan memanjat dengan
hati-hati sampai ke atas.
Lantas apa itu Tataran yang
dimaksud dalam falsafah hidup Sunan Kalijaga di atas? Tataran itu dapat
dimaknai sebagai aturan-aturan yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di
dunia, maka kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan-
peraturan dunia yang berlaku. Kalau kita ingin selamat di akhirat, maka
kita harus mengikuti aturan-aturan atau peraturan-peraturan akhirat yang
berlaku. Kalau kita ingin selamat di dunia dan akhirat, kita harus
mengikuti aturan-aturan atau peraturan-peraturan yang berlaku di dunia
dan akherat.
Buah kelapa menggambarkan secara kronologis kehidupan manusia dari mulai manggar diibaratkan janin, bluluk bermakna bayi, cengkir bermakna balita, deghan bermakna remaja, dan kerambil/kelapa bermakna dewasa.
Falsafah ini memberi pencerahan makna hidup manusia yang harus
dijalankan secara hati-hati, dari mulai janin sampai dewasa. Karena pada
setiap tahapan tersebut bisa saja terjadi musibah dari yang kecil
sampai meninggal dunia. Untuk itu kehati-hatian ini harus dijabarkan
dalam mempersiapkan diri pada hidup dan kehidupan di dunia. Yaitu
selalu berpegang teguh pada aturan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara agar selamat di dunia. Sejalan dengan itu juga berpegang
teguh pada aturan keagamaan berdasarkan Al Qur’an dan hadist agar
selamat di akhirat nanti. Kalau pegangan tersebut dilaksanakan secara
konstisten dan konsekuen maka manusia tidak perlu gentar menghadapi
takdir kematian kapan saja karena sudah siap untuk hidup dunia akhirat.
Dalam memanjat pohon kelapa, kita musti
bekerja keras, hati-hati dan disiplin menelusuri tataran pohon kelapa
untuk mencapai puncak hingga dapat menggapai buah pohon kelapa yang
dapat diambil kemanfaatannya. Hal itu dapat kita petik hikmah bahwa
dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
kita harus memiliki niat yang baik, bekerja keras, mematuhi
peraturan-peraturan yang berlaku – baik peraturan-peraturan dunia maupun
akherat – dan hati-hati untuk mewujudkan kesejahteraan, ketentraman,
kedamaian, dan kemamkmuran kita, masyarakat dan bangsa.
Oleh karena itu,
implementasi filosofi kehidupan Sunan Kalijaga sangat bermakna dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara menuju tercapainya
kesejahteraan, ketentraman, kedamaian, dan kemakmuran rakyat dan bangsa
Indonesia. Intisarinya adalah, kita sebagai bangsa harus memiliki niat
yang baik, bekerja keras, mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku –
baik peraturan dunia maupun akherat – dan hati-hati (tidak ceroboh)
dalam menjalankan kehidupan demi tercapainya esensi rahmatan lil ’alamiin, tujuan berbangsa dan bernegara, di bumi nusantara tercinta dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar