Walikota sudah memperingatkannya agar memotong pohon berduri itu. Setiap kali diingatkan, orang itu selalu mengatakan bahwa ia akan memotongnya besok. Namun sampai orang itu tua, pohon itu belum dipotong juga. Seiring dengan waktu, pohon berduri itu bertambah besar. Ia menutupi semua bagian jalan. Duri itu tidak saja melukai orang yang melalui jalan, tapi juga melukai pemiliknya. Orang tersebut sudah sangat tua. Ia menjadi amat lemah sehingga tidak mampu lagi untuk menebas pohon yang ia tanam sendiri.
Menurut Jalaludin Rumi, di akhir kisah tersebut Jalaludin Rumi memberi nasehat: ”Dalam hidup ini, kalian sudah banyak sekali menanam pohon berduri dalam hati kalian. Duri-duri itu bukan saja menusuk orang lain tetapi juga dirimu sendiri. Ambillah kapak Haidar, potonglah seluruh duri itu sekarang juga sebelum kalian kehilangan tenaga sama sekali. Bukankah Allah Swt. telah berfirman,
قَدْ جاءَكُمْ بَصائِرُ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ أَبْصَرَ فَلِنَفْسِهِ وَ مَنْ عَمِيَ فَعَلَيْها وَما أَنَا عَلَيْكُمْ بِحَفيظٍ
”Sungguh telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang; maka barangsiapa melihat kebenaran itu, maka manfaatnya pun bagi dirinya sendiri; dan barangsiapa tidak melihat kebenaran itu, maka kemudharatannya pun kembali kepadanya” (Qs. Al An’âm 104).
”Pohon berduri” adalah kiasan dari penyakit hati. Jika penyakit hati ditanam sendiri dalam kalbunya, maka semakin lama akan semakin besar dan semakin kuat, sehingga bisa membawa korban lebih banyak. Bukan hanya orang lain yang banyak terlukai, tetapi diri sendiri pun akan terlukai. Misalnya, orang yang merasa bahwa semua orang di sekitarnya tidak suka kepadanya dan mereka selalu menghina dan mencelakakannya. Perasaan seperti ini adalah refleksi dari penyakit hati yang ia tanam sendiri dalam kalbunya, sehingga ia selalu dibayangi ketakutan seperti itu. Dampaknya ia selalu berprasangka buruk terhadap semua orang, mudah tersinggung, kehilangan cinta yang tulus, dan kebutaan hati. Ia tak lagi bisa membedakan antara canda gurau dan serius, persahabatan palsu dan persahabatan yang tulus, berita yang benar dan berita yang palsu. Semua itu ditentukan dengan perasaan like and dislike yang dilandasi rasa dendam, dengki dan iri hati, serta ambisi dan keserakahan yang tak pernah terpuaskan.
Oleh karena itulah orang yang berpenyakit hati akan selalu kehilangan ketentraman dan ketenangan batin. Sementara kebahagiaan hatinya hanya terletak pada kepuasan dalam melakukan dosa, terutama dosa-dosa terhadap sesamanya. Karena di dalam hatinya tidak ada sedebupun perasaan bersalah yang mengganggu dirinya, sementara yang ada hanyalah semua orang bersalah dengannya. Sebaliknya ketika ia berbuat kebaikan, motivasi yang ada dalam hatinya hanyalah ingin mendapat pujian dari orang lain, karena hanya pujian itulah kebahagiaan batin yang dapat diraihnya. Sementara jiwa ikhlas telah lenyap terkikis oleh virus yang berkembang biak dalam hatinya. Inilah orang-orang yang tergolong ’sakit jiwa’ sehingga lalai terhadap Tuhannya.
Padahal, menurut Al Ghazali, di antara fungsi hati adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dia telah menciptakan hati sebagai tempat Dia bersemayam. Hal ini dinyatakan sendiri oleh Allah swt. dalam sebuah hadits Qudsi: ”Langit dan bumi tidak dapat meliputi-Ku. Hanya hati manusia yang dapat meliputi-Ku”. Dalam hadits Qudsi yang lain, Dia pun berfirman: “Hai anak Adam, Aku telah menciptakan taman bagimu, dan sebelum kamu bisa masuk ke taman ciptaan-Ku, Aku usir syetan dari dalamnya. Dan dalam dirimu ada hati, yang seharusnya menjadi taman yang engkau sediakan bagi-Ku.” (al Hadits).
Hadits ini, menurut Jalaluddin Rumi, menunjukkan bahwa fungsi hati adalah untuk mengenal Tuhan, mencintai Tuhan, menemui Tuhan, dan pada tingkat tertentu, melihat Tuhan atau ber jumpa dengan-Nya. Sedangkan hati yang berpenyakit tertutup mata batinnya dari penglihatan ruhaniah. Bahkan tidak lagi mengenal Allah, apalagi mencintai-Nya. Karena itulah Jalaluddin Rumi memerintahkan sekarang juga untuk menebang habis ’pohon berduri’ (penyakit hati) yang tumbuh dalam hati tersebut. Sebab, esok ia akan tumbuh semakin kuat, sementara tenaga semakin lemah, maka tiada daya untuk menghancurkannya. Lalu, bagaimana menebangnya?
Jalaluddin Rumi telah mengutip resep dari Imam al Ghazali, yaitu cara:
- Untuk mengobati penyakit hati adalah dengan mencari Guru yang mengetahui penyakit hati kita. Dengan segala kepasrahan, kita minta kepadanya untuk mendiagnosis penyakit hati kita. Karenanya janganlah tersinggung dengan ’aib-aib’ yang diberitahukan oleh sang Guru kepada kita. Umar bin Khattab saja pernah berkata, “Aku menghargai sahabat-sahabatku yang menunjukkan aib-aibku sebagai hadiah untukku”.
- Mendapatkan sahabat yang jujur. Sahabat adalah orang yang membenarkan bukan yang ’membenar-benarkan’ kita. Sahabat yang baik adalah yang membetulkan kita, bukan yang menganggap apapun yang kita lakukan itu betul.
- Jika sulit mendapatkan sahabat yang jujur, kita bisa mencari orang yang membenci kita dan mempertimbangkan ucapan-ucapan mereka tentang diri kita. Orang yang membenci kita dapat menunjukkan aib kita dengan lebih jujur daripada sahabat kita sendiri.
- Memperhatikan perilaku orang lain yang buruk dan kita rasakan akibat perilaku buruk tersebut pada diri kita. Dengan cara itu kita tidak akan melakukan hal yang sama. Hal ini sangat mudah karena kita lebih sering memperhatikan perilaku orang lain yang buruk daripada perilaku buruk kita sendiri.
Keempat resep dari al Ghazali tersebut dapat dijadikan metode terapi atau scanner untuk hati yang terjangkit ’virus’. Kalau berhasil terapinya, insya Allah, akan terbebas dari penyakit hati dan meningkat menjadi hati yang sehat (qalbu salim). Indikasinya, bahwa orang yang memiliki qalbu salim akan selalu memiliki kesadaran yang tinggi akan dosa-dosa yang telah diperbuatnya, baik dosa terhadap Tuhannya maupun dosa terhadap sesamanya, sehingga dosa-dosanya itu menjadi sebab kelalaian dirinya terhadap Tuhan dan jasa-jasa dari sesamanya. Seperti kesadaran yang dimiliki oleh seorang tabiîn, Sufyan ats Tsauri, yang pernah melontarkan perkataan yang sangat indah. Tuturnya, “Pada suatu hari aku duduk untuk mengingat kembali dosa-dosaku. Aku pun lalu menghitungnya. Ternyata, dosa-dosaku yang berhasil kuingat ada 21.000 dosa.” Lalu Sufyan berkata kepada dirinya sendiri, “Hai Sufyan, apakah dengan 21.000 dosa kamu akan menemui Tuhanmu, padahal Dia akan menanyakan kepadamu setiap dosa yang telah kamu lakukan”.
Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Pengampun, meskipun seseorang hamba telah berkubang lumpur dosa, namun Allah masih menyediakan jalan keluar bagi siapapun yang mau kembali kepada-Nya. Jalan itu adalah taubat. Karena taubat itu, menurut al Ghozali, adalah kembali kepada Sang Maha Penutup aib dan Maha Mengetahui yang ghaib. Ia merupakan awal perjalanan orang-orang yang berjalan, modal orang-orang sukses, langkah awal para pencinta kebaikan, kunci istiqamah orang-orang yang cenderung kepada-Nya, dan awal pemilihan dari orang-orang yang mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi taubat dengan segala prosesnya akan menjadi scanner yang handal terhadap “virus-virus” (penyakit) hati. Semoga …! Amiin. ***
Asmuni Syukir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar