Kebahagiaan itu seperti pelangi, tak pernah berada di atas kepala sendiri. Dan Pelangi itu tidak akan indah jika hanya satu warna, kalau langit tidak menangis mana mungkin taman akan tersenyum..

Minggu, 18 Desember 2011

Cinta dan Benci

Cinta atau dalam bahasa Arab kita kenal dengan al mahabbah dan benci atau al karahah, merupakan fitrah emosional yang dianugerahkan Allah SWT pada seluruh manusia. Bagi seorang muslim, cinta dan benci itu harus berdasarkan syari’at. Karena, bisa jadi apa yang qt cintai justru sesuatu yang buruk, dan sebaliknya membenci sesuatu yang sebetulnya baik buat qt. (Q.S Al Baqarah: 216). Jika tidak demikian, betapa banyak orang yang akan menjadi korban akibat tidak tahu menempatkan arti cinta dan benci ini. Dalam Islam, cinta seseorang haruslah berlandaskan pada ittiba’ (mengikuti) Rasulullah SAW. Sebagaimana firmanNya, “Jika kamu benar benar mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah SAW), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa dosamu” (Q.S Ali Imron: 31-32).

Salah satu cinta yang diajarkan Rasulullah SAW diantaranya adalah mencintai dan mengasihi sesama. Kecintaan ini, sebagaimana pernah dicontohkan beliau, tak pernah dibedakan antara muslim dan non muslim. Bahkan, tidak dibenarkan jika kita tidak berbuat adil kepada suatu kaum misalnya, hanya karena benci kepada mereka. (Q.S Al Maidah: 8).
Ajaran cinta Islami yang mesti disemaikan bukanlah sebatas kepada sesama muslim. Tetapi justru sesama manusia dan sesama makhluk. Rasulullah SAW bersabda, “Hakikat seorang muslim adalah mencintai Allah dan rasulNya, sesamanya, serta tetangganya, melebihi atau sebagaimana ia cinta kepada dirinya sendiri” (HR. Imam Bukhari).
Kecintaan yang terekspresikan akan menjadi amal shaleh bagi pelakunya. Maka dari itu, kecintaan maupun kebaikan, meskipun baru tersirat dalam hati dan belum terlaksana, tetap akan mendapat pahala di sisi Allah. Sebaliknya, kebencian yang tersimpan dalam lubuk hati di samping sebuah kewajaran, juga tidak dicatat sebagai keburukan, hingga niatnya itu betul betul dilakukan (al Hadits).
Ekspresi sebuah kebencian tak lain adalah sikap hasud yang dilarang dalam Islam. Hasad adalah iri dan bersikap dengki terhadap orang atau kelompok lain, bahkan sebisa mungkin, berupaya menjatuhkan dan menghilangkan semua kepemilikan seseorang yang dianggap lawannya itu. Dari sini hasud berubah wujud menjadi hasutan, bagaimana merekayasa isu dan gosip tanpa fakta untuk turut meyakinkan orang lain, agar sama sama membenci bahkan menganiaya orang atau kelompok tertentu.
Benci yang hasud seperti di atas dilarang oleh Rasulullah SAW, sabdanya, “Jauhilah oleh kalian sikap hasud, karena hasud itu niscaya akan memakan amal kebaikanmu layaknya api menghanguskan kayu bakar” (HR. Abu Dawud).
Wajah seorang muhasid (pelaku hasud) tak lain seorang provokator yang senang mengadu domba antarsesama, menabur fitnah, serta wujud dari kerja sama dalam menebar dosa dan permusuhan. Mereka diancam Nabi SAW, tidak akan masuk surga, karena mencoba memutuskan pertalian kasih dan sayang antar sesama manusia (HR. Bukhari Muslim).
Dalam konteks Islam, ‘shilat-u ar-rahmi’ (shilah, menghubungkan; dan rahmi, berasal dari rahim yang sama) merupakan keharusan menyemaikan perdamaian dan keharmonisan hidup antar insan. Inilah inti rahmat-an lil-alamin; mencintai dan membenci karena Allah akan mendatangkan rahmat, dan sebaliknya, jika sesuai seleranya sendiri, terancam kepedihan azabNya. Dalam arti, tidak turunnya rahmat dan bertaburnya benih benih perpecahan dan perselisihan.
Dari Anas ra, Allah berfirman, Rasulullah SAW besabda, “Barangsiapa yang menahan amarahnya, maka Allah akan menahan azabNya” (HR. Thabrani).
Agar kecintaan tumbuh dan bersemi dalam diri setiap insan, Rasulullah mengajarkan, “Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam (kedamaian), berilah makan orang yang membutuhkan, sambungkanlah tali persaudaraan dan shalatlah tahajud pada sepertiga malam, niscaya kamu akan masuk surga dengan damai” (HR. Imam Tirmidzi).
Demikian sebaik baik kecintaan dalam Islam. Kedamaian ditebarkan untuk dan kepada siapapun. Seorang muslim sejati ialah apabila orang lain selamat dari ulah lisan, tangan, maupun kewenangannya.
Wallahu’ alam bishawab.


Sumber: pesantrenvirtual.com 
 honeyizza                       
                                                                                                                                 

Tidak ada komentar: